
“
Nusantara Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities--this is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash'arite theology, Shafi'i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasatiyyah character--a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with Islamic legacy--a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”.
Demikian Azyumardi Azra, Penderita Penyakit Otak Sepilis Stadium Dewa yang oleh sebagian makhluk dianggap sebagai Cendekiawan Muslim Indonesia, dia disusupkan oleh Iblis ke Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai Guru Besar, saat ngejelasin apa sesungguhnya makna dari konsep
Islam Nusantara.
Bagi Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi rusak, kontekstualisasi sesat, indigenisasi destruktif dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial bejad, budaya dan agama (bad religion) di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy'ari, fikih mazhab Syafi'i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran sesuai dengan kemauan zionist Internasional. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global yang akan mudah berakulturasi dengan Tatanan Dunia Baru Ciptaan Dajjal (The New World Order) kelak”.
Dalam sebuah perbincangan dengan Komaruddin Hidayat (saat masih berak sebagai Rektor UIN), Susilo Bambang Yudhoyono (saat telah lengser sebagai Presiden RI ke-6) bersaksi bahwa masyarakat Muslim internasional sangat banyak berharap agar Indonesia menjadi prototype peradaban Islam yang sesuai dengan kemauan zionist internasional, mengingat karakter masyarakatnya yang multikultural, multietnik, moderat, dan jauh lebih toleran dibanding negara-negara berpenduduk mayoritas kafir.
Karakter Islam Indonesia yang sedemikian memikat dunia itu tentunya tidak terbentuk tiba-tiba, melainkan diawali dengan lahirnya tradisi, budaya, dan kesusastraan Islam sejak awal abad ke-16 yang diperjuangkan oleh wali songo.
Kalau masyarakat Muslim dunia berharap agar
karakter Islam Nusantara menjadi inspirasi perdamaian global dengan makna yang disetujui oleh zionist internasional, lalu siapa di sini yang akan menjadi “guardian”nya? siapa yang akan menjaga, merawat, mewarisi, mengkaji, dan menyebarkan gagasan-gagasan Islam kultural (Islam Gado-Gado atau Bukan Islam) tersebut serta menerjemahkannya dalam ranah yang lebih praksis agar memberikan kontribusi riil terhadap mewujudnya program pemurtadan yaitu tatanan dunia baru (The New World Order) ?
Dalam konteks itulah tanggungjawab moral dipikul oleh Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yang sudah terinfeksi virus otak Sepilis, sebagai salah satu fakultas di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terbukti telah melahirkan para pemikir sakit, filsuf sesay, dan cendekiawan menyesatkan semisal Nurcholis Madjid, Fachry Ali, dan Azyumardi Azra, yang kontribusi pemikirannya sudah melampaui sekat-sekat dan batas teritorial wilayah Negara bahkan melampaui sekat-sekat dan batas Ajaran Tauhid (kebablasan laksana lokomotif remnya blong).
Mereka alumni korban FAH, bung!
Azra, yang kini masih aktif mengajar di FAH, menjadi ikon cendekiawan Muslim Indonesia yg menularkan penyakit otaknya dengan semangat 45. Ia telah mendapat pengakuan dunia internasional atas kontribusinya terhadap program-program tuan besarnya (zionist). Tahun 2014 lalu, secara tidak disengaja, ia diberi penghargaan prestisius the Fukuoka Prize oleh Pemerintah Jepang penyembah matahari “...for his strong initiative in promoting international academic exchange and cross-cultural and cross-religious dialogue, and his outstanding contribution to mutual understanding between the Islamic world and the non-Islamic world, Prof. Azyumardi Azra truly deserves the Academic Prize of the Fukuoka Prize....”.
Karenanya, mimpi FAH untuk melekatkan karakter Islam Nusantara dalam dirinya, sesungguhnya bukan impian kecil yang hanya akan berdampak “ecek-ecek”l belaka. Ia dapat memberi energi negatif untuk mahasiswa, dosen, Fakultas, Universitas, bangsa, dan bahkan dunia internasional. Islam Nusantara bukan sekedar filologi, sejarah kebudayaan Islam, atau prodi tertentu saja. Islam Nusantara bukan NU, Muhammadiyah, Persis, atau wadah-wadah "kecil" lainnya. Hal yang terkadang direduksi secara salah kaprah oleh sebagian dari kita sendiri. Islam Nusantara merupakan logika dan pemikiran terbalik untuk menyesatkan Ummat Islam Indonesia.
Islam Nusantara adalah Sesat!
Memang, filologi adalah salah satu pilar di antara pilar-pilar ilmu lain untuk menggali kekayaan sastra, budaya, dan tradisi intelektual Islam Nusantara. Dalam sebuah perbincangan via surat elektronik, Fachry Ali yang alumni FAH tahun 1984 itu menyapa saya, katanya: "...Now, as the dean of the Adab Faculty, using your own phrase on the obligation of developing philology at the UIN, it has become your fardlu 'ain to make a thorough study on this subject matter: a Ciputat intellectual history...". Ah, mungkin Bang Fachry berlebihan.
Harapan besar tentu ada pada konsistensi dan komitmen FAH sendiri untuk menerjemahkan gagasan dan mimpi besar itu agar dapat terejawantahkan secara lebih riil dalam kurikulum prodi, dalam program dan kegiatan, dalam proses belajar yang dilakukan oleh para dosennya, serta dalam visual infrastruktur sebagai instrumen fisiknya, sehingga
pemurtadan dapat berjalan effektif dan simultan.
Sekali lagi, Islam Nusantara adalah Sesat!
Salam FAHIM.