Akibat gagal memahami Islam secara kaaffah, akhirnya kedua kelompok tersebut mempertentangkan antara Islam esoteris (Islam hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariat), serta antara Islam lemah lembut dengan Islam keras. Kedua kelompok tersebut dianggap sbg
ciri khas Islam Nusantara, sedangkan kebalikan dari keduanya adalah milik Islam Arab.
Konsep Islam Nusantara atau Islam Indonesia seringkali dibenturkan dengan konsep Islam Arab. Bahkan yang lebih RANCU (rada sarap dan lucu) lagi adalah istilah Islam Arab distigmatisasi sebagai ancaman bagi Islam Indonesia.
Kalau jeli diperhatikan sebenarnya apa yang secara klise seringkali dianggap sbg karakteristik Islam Indonesia di atas, ternyata lebih banyak diwarnai asumsi dan idealisasi daripada kenyataan sesungguhnya.
Sejatinya klaim bahwa
Islam Nusantara adalah Islam esoteris dan Islam yang lemah lembut semata-mata merupakan generalisasi dan simplifikasi yg mempunyai kecenderungan a-historis dan menolak realitas keber-islam-an bangsa Indonesia yg tidak se-sederhana seperti apa yang mereka bayangkan.
Sejak awal masuk dan berkembangnya Al-Islam di Nusantara ini, Islam sudah dipahami dan dilaksanakan baik dalam aspek esoteris maupun eksoteris. Contohnya, naskah Islam tertua di Jawa seperti Pituture Seh Bari atau Kropak Ferrara, selain bicara tentang tasawuf juga membicarakan aqidah dan fikih. Jadi bukan cuma membahas aspek esoteris ajaran Islam tapi juga aspek eksoteris-nya.
Begitu pula kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, walaupun dalam membangun wibawa kekuasaannya banyak menggunakan konsep-konsep tasawuf tetapi tetap tak meninggalkan penegakan syariat. Mengenai penerapan syariat yang masih harus menenggang keberadaan hukum adat yang eksis sebelum Islam datang, tentu saja itu adalah bagian dari proses Islamisasi yang panjang, tetapi yang jelas, tetap ada usaha dari para penguasa Muslim di Nusantara untuk menerapkan syariat tanpa sama sekali mempertentangkannya dengan hakikat.
Begitu juga kalau melihat sejarah, semua orang bisa menyaksikan bahwa Muslimin di Nusantara tidak mempraktikkan Islam hanya sebagai agama lemah lembut semata. Ada saat-saat-nya Muslimin di Nusantara bersikap tegas dan keras ketika mereka ditindas oleh orang-orang kafir dan atau kehormatan agama mereka dihinakan. Jihad Fie Sabilillah terhadap pemerintah kafir penjajah (Belanda) sepanjang abad 19 yang dikomandoi oleh para ulama, kiai, haji, dan santri bisa dijadikan bukti bahwa kaum Muslimin di Nusantara pun bisa bersikap tegas dan bertindak keras.
Satu hal yang perlu dicatat, perlawanan-perlawanan tersebut seringkali diarahkan bukan hanya terhadap kafir-kafir penjajah (Belanda) tetapi juga kepada pribumi Muslim yang besekongkol dengan penjajah yang kemudian oleh gerakan-gerakan perlawanan itu - yang banyak di antaranya merupakan praktisi tarekat – mereka sering divonis kafir karena bersekutu dengan Belanda.
Diluar dari vonis kafir yang dilakukan secara serampangan tidak dibenarkan dalam syariat, tetapi fakta sejarah ini telah membuktikan bahwa takfir tidak hanya dilakukan oleh mereka yang saat ini distigma-negatif dengan ‘wahabi’ tetapi juga oleh kaum tarekat (sufi) yang sering dikonstruksikan sebagai kelompok Islam yang toleran, moderat, cinta damai, dan humanis. Hal ini sekaligus menunjukkan dan membuktikan bahwa pemahaman Islam yang mengedepankan aspek esoteris tidaklah senantiasa berbanding lurus dg sikap moderat dan sikap toleran.
Siapapun pun bisa dan boleh bertanya lebih jauh lagi, apakah proses yang kerap disebut pribumisasi Islam ini akan melahirkan ekspresi keberagamaan yang kental dengan nuansa esoteris dan atau kelemah-lembutan dalam beragama? Maka apabila menengok kepada sejarah, setiap orang akan menemukan jawaban : TIDAK sama sekali. Ternyata Pribumisasi Islam bisa saja menghasilkan ekspresi keber-islam-an yg mengedepankan aspek eksoteris - tanpa harus berarti menolak aspek esoteris - dan juga galak alih-alih lemah lembut.
Hal tersebut bisa disaksikan dalam harokah jihad DI/TII di pulau jawa bagian Barat yang dipimpin oleh Assyahid, Insya-Allah, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sejumlah catatan sejarah terkait DI/TII di Jawa Barat memperlihatkan bahwa harokah ini menggunakan konsep-konsep budaya lokal (Jawa dan Sunda) dalam upaya mengartikulasikan ideologinya. Keberhasilan DI/TII merekrut pengikut di daerah pedesaan Priangan juga tidak lepas dari usaha menampilkan DI/TII sebagai media perjuangan masyarakat Sunda dari penjajahan dan ketertindasan dengan cara menampilkan adat dan keyakinan masyarakat sunda.
Jelas sekali ini merupakan sebuah bentuk pribumisasi Islam namun pribumisasi itu justru dilakukan dalam koridor jihad menegakkan aspek eksoteris Islam yaitu syariat Islam. Pribumisasi itu juga tidak berbanding lurus dengan sikap lemah lembut. Malah sebaliknya DI/TII dikenal sebagai gerakan yang tegas dan keras terhadap musuh-musuhnya.